KhotbahMakna Kebangkitan Tuhan Yesus. Jun 14, 2021. MAKNA KEBANGKITAN YESUS (BAGIAN-1) - Renungan Harian Katolik MAKNA KEMATIAN DAN KEBANGKITAN YESUS KRISTUS | SUARA GOLGOTA. Apa Makna Kebangkitan Kristus Bagi Kita? - The Santo Katolik 40 Hari Sesudah KebangkitanNya, Tuhan Yesus Kristus Naik Ke Surga - Burung Berkicau : Kristiani MenurutNabi Alma, roh orang-orang yang saleh beristirahat dari persoalan dan kedukaan dunia. Meskipun demikian, mereka sibuk dalam melakukan pekerjaan Tuhan. Presiden Joseph F. Smith melihat dalam sebuah penglihatan bahwa segera setelah Yesus Kristus disalibkan, Dia mengunjungi orang-orang yang saleh di dunia roh. MemaknaiHari Kenaikan Tuhan dan Turunnya Roh Kudus Kepada Para Rasul. Evanindo. Agama | Tuesday, 24 May 2022, 09:10 WIB. Pada tahun 2022, memperingati turunnya Roh Kudus untuk perayaan hari Kenaikan Isa Almasih atau Yesus Kristus ke surga pada hari ke-40 setelah Kebangkitan-Nya akan jatuh pada Kamis tanggal 26 Mei 2022. Artinya "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) ruh (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah ruh (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan ruh yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir." [QS. . Khotbah Kristen ibadah syukur 40 hari kematian adalah khotbah atau ceramah yang diberikan dalam ibadah syukur 40 hari kematian seseorang yang telah meninggal khotbah ini, biasanya akan dibahas mengenai arti dari kematian dan kehidupan setelah kematian dalam pandangan agama Kristen, serta diberikan pesan-pesan yang menguatkan iman dan memberikan penghiburan bagi keluarga yang ini juga dapat mengenang kenangan indah yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal, serta memotivasi jemaat untuk hidup dengan lebih bermakna dan memberikan pengaruh positif bagi orang Kristen ibadah syukur 40 hari kematian bertujuan untuk memberikan penghiburan dan menguatkan iman bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkan, serta mengingatkan jemaat akan pentingnya menghargai hidup dan menjalani hidup dengan penuh kesabaran dan keberanian, karena hidup di dunia ini adalah sementara dan kita semua akan menghadap Tuhan suatu saat adalah khotbah ibadah syukur 40 hari kematian agama kristenBacaan Alkitab"Aku adalah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia mati, dan barangsiapa hidup dan percaya kepada-Ku, ia tidak akan mati selama-lamanya." Yohanes 1125-26Saudara-saudara yang dikasihi Yesus Kristus, hari ini kita mengenang hidup seseorang yang telah meninggalkan kita [Nama yang meninggal], namun kita tidak meratapi kepergiannya dengan kesedihan yang mendalam. Sebaliknya, kita bersyukur atas hidup yang telah diberikan oleh Tuhan dan atas kenangan yang ia tinggalkan dalam kehidupan kita. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari hidup, melainkan awal dari kehidupan yang baru di hadapan kita mengenang hidup seseorang, kita juga mengingatkan diri kita bahwa hidup kita di dunia ini adalah sementara, dan bahwa kita semua akan menghadap Tuhan suatu saat bacaan Alkitab hari ini, kita telah mendengar firman Tuhan yang menjanjikan hidup yang abadi bagi mereka yang percaya dan hidup dalam iman kepada-Nya. Kita yakin bahwa seseorang yang meninggal dunia dan telah menerima keselamatan melalui Yesus Kristus akan hidup selama-lamanya di hadapan meskipun kita yakin akan hidup yang abadi di hadapan Tuhan, kita tetap harus mengenang hidup seseorang yang telah meninggalkan kita. Kita harus mengenang kenangan indah yang ia tinggalkan dalam kehidupan kita dan bersyukur atas hidup yang telah diberikan oleh yang dikasihi Yesus Kristus, marilah kita bersyukur atas hidup yang telah diberikan oleh Tuhan dan mengenang kenangan indah yang ia tinggalkan oleh [Nama yang meninggal] dalam kehidupan kita. Marilah kita memohon pengampunan dan keberkahan dari Tuhan, serta percaya bahwa seseorang yang meninggal dunia dan telah menerima keselamatan melalui Yesus Kristus akan hidup selama-lamanya di hadapan Tuhan. hari ini kami berkumpul di hadapan-Mu untuk mengenang hidup seseorang yang telah berpulang ke hadirat-Mu [Nama yang meninggal]. Kami bersyukur atas hidup yang telah diberikan oleh-Mu dan atas kenangan yang ia tinggalkan dalam kehidupan percaya bahwa seseorang yang meninggal dunia dan telah menerima keselamatan melalui Yesus Kristus akan hidup selama-lamanya di hadapan-Mu. Kami memohon agar [Nama yang meninggal] yang telah berpulang dapat beristirahat dengan damai di dalam hadirat-Mu, dan mendapatkan tempat yang layak di kami tahu bahwa hidup kami di dunia ini adalah sementara, dan bahwa kami semua akan menghadap-Mu suatu saat nanti. Berikanlah kami kekuatan untuk menjalani hidup kami dengan penuh kesabaran dan keberanian, dan jangan biarkan kami tergoda oleh godaan dunia yang fana nama Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin. Undangan Misa Arwah 40 Hari from Apa Itu Undangan 40 Hari Meninggal Katolik? Undangan 40 hari meninggal adalah sebuah acara yang digelar 40 hari setelah kematian seseorang. Hal ini sangat penting bagi umat Katolik karena memiliki makna simbolik yang terkait dengan misteri Kebangkitan Yesus. Acara ini dimulai dengan doa, khotbah dan pemujaan yang dipimpin oleh seorang uskup atau ayah imam yang berhak. Setelah pemujaan, para tamu dapat menyampaikan ucapan simpati dan terima kasih bagi keluarga yang telah berduka. Keutamaan Menyelenggarakan Undangan 40 Hari Meninggal Katolik Keutamaan dari menyelenggarakan undangan 40 hari meninggal Katolik adalah untuk memperingati jiwa yang telah meninggal. Hal ini juga memberikan waktu bagi keluarga yang telah berduka untuk berdamai dengan kehilangan mereka. Acara ini juga penting karena memungkinkan keluarga dan teman-teman yang berduka untuk menghormati dan menghargai jiwa yang telah meninggalkan dunia ini. Selain itu, acara ini juga memberikan waktu bagi keluarga dan teman-teman untuk berkumpul dan berbagi kenangan tentang orang yang telah meninggal. Cara Menyelenggarakan Undangan 40 Hari Meninggal Katolik Untuk menyelenggarakan undangan 40 hari meninggal Katolik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, Anda harus menentukan tempat untuk acara ini. Tempat ini harus nyaman bagi semua orang yang akan hadir. Selain itu, Anda juga harus mengatur jadwal acara Anda. Anda harus memastikan bahwa semua orang yang akan hadir bisa datang tepat waktu. Selanjutnya, Anda harus membuat undangan 40 hari meninggal Katolik, dan Anda harus mengirimkannya tepat waktu. Anda juga harus mengatur makanan dan minuman yang tersedia untuk tamu acara. Konten Undangan 40 Hari Meninggal Katolik Undangan 40 hari meninggal Katolik harus mencakup beberapa informasi penting. Pertama, undangan harus mencakup nama orang yang telah meninggal. Selanjutnya, undangan harus mencakup tanggal, waktu, tempat, dan tujuan acara. Selain itu, undangan harus mencakup informasi tentang kenangan yang akan dibagikan kepada tamu. Selain itu, undangan harus mencakup informasi tentang pakaian dan makanan yang akan tersedia. Kesimpulan Undangan 40 hari meninggal Katolik adalah sebuah acara yang diadakan 40 hari setelah kematian seseorang. Hal ini penting bagi umat Katolik karena menandakan Kebangkitan Yesus. Acara ini menyediakan waktu bagi keluarga dan teman-teman untuk berkumpul dan berbagi kenangan tentang orang yang telah meninggal. Untuk menyelenggarakan acara ini, Anda harus menentukan tempat, membuat undangan, dan menyediakan makanan dan minuman yang tersedia. Dengan mengikuti petunjuk di atas, Anda dapat dengan mudah menyelenggarakan undangan 40 hari meninggal Katolik. Navigasi pos Contoh Makalah Askep Diabetes Melitus Tipe 1 Pada Anak Kobong Ilmu from Soal Essay Bisnis Ritel Kelas XI Pengertian
 Acne Patch Atau Pimple Patch Terbaik Untuk Kulit Remaj
 from Rangkaian Produk Clean and Clear untuk Jerawat Mengapa Clean
 Saya memulai suatu tradisi membaca bagian tertentu dari The Star of Redemption setiap tahun pada perayaan Yom Kippur, hari Pendamaian. The Star of Redemption, yang ditulis pada kartu-kartu pos di wilayah garis depan Balkan dalam Perang Dunia I, adalah karya besar dari filsuf Yahudi Jerman abad ke-20 Franz Rosenzweig, yang memaparkan tentang cara memahami Yudaisme dan kekristenan dengan sangat komprehensif dan saling melengkapi. Pada tahun saya menikah, saya membaca refleksi Rosenzweig tentang arti Yom Kippur—hanya dua minggu sebelum pernikahan saya—dan saya dikejutkan dengan cara yang benar-benar baru. Saat saya memasuki jam-jam sore yang berat dari puasa Yom Kippur, saya sangat tersentuh dengan diskusi Rosenzweig tentang jubah luar selutut berwarna putih, yang disebut kittel kih’-tuhl, yang secara tradisional dipakai oleh pria dan di beberapa kalangan Yahudi, juga dipakai oleh wanita pada hari Yom Kippur. Sebagaimana segala sesuatu dalam Yudaisme, signifikansi dari tindakan ini memiliki makna yang berlapis. Kittel adalah jubah kedukaan tradisional Yahudi; dengan memakainya di hari Yom Kippur melambangkan kesatuan rasa bersalah orang-orang Yahudi di hadapan Tuhan, yang menjadi fokus utama dari Yom Kippur. Tuhan tidak tahan ketidakkudusan dan ketidakmurnian, dan pada hari Yom Kippur orang-orang Yahudi harus menatap wajah dosa dan kekurangan mereka sendiri. “Maafkanlah kami, ampunilah kami, tebuslah kami,” demikian isi liturgi Yom Kippur diucapkan dengan nada memohon berulang kali. Hari Pendamaian/Penebusan adalah hari penghakiman, di mana setiap orang Yahudi secara individu dan umat Yahudi secara kolektif harus memperhitungkan hutang dosa mereka di hadapan Tuhan. Meski demikian, mengenakan kittel juga menunjukkan keajaiban pengampunan dari Tuhan. Ini adalah tema utama lainnya dari Yom Kippur. Mengenakan kittel berarti secara visual mewujudkan pemikiran bahwa “sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju” Yes. 118. Karena itu, bagi Rosenzweig, Yom Kippur memiliki arti yang sangat mendalam sebagai hari kehidupan dan kematian. Sebagai ganti kematian akibat dosa, Tuhan memberikan pengampunan yang melimpah dan anugerah hidup kekal kepada umat-Nya . Yang satu tidak bisa tanpa yang lain, dan masing-masing memberi makna satu sama lain. Setelah dengan tajam menjelaskan pentingnya mengenakan kittel pada hari Yom Kippur, Rosenzweig merujuk pada Kidung Agung 86, di mana kita membaca bahwa “cinta kuat seperti maut.” Rosenzweig melanjutkan “Dan inilah sebabnya mengapa setiap orang sekali seumur hidup mengenakan pakaian penguburan yang lengkap di bawah tenda pernikahan, setelah sang mempelai pria menerimanya pada hari pernikahan dari tangan mempelai wanita.” Inilah yang menyebabkan napas saya tercekat di tenggorokan saat itu. Sebelumnya saya telah membacanya berkali-kali, tetapi tidak pernah dengan gravitasi makna yang sama. Kematian dan kehidupan baru, dosa dan pengampunan, pertobatan dan pengampunan—inilah tema-tema utama seputar Yom Kippur, yang juga merupakan jalan kehidupan pernikahan sehari-hari, sebuah kenyataan yang akan saya alami secara mendalam di tahun-tahun mendatang. Secara khusus, ada satu kesempatan lagi untuk memakai kittel dalam kalender Yahudi—yaitu selama ritual tahunan Seder Paskah Yahudi, terutama oleh orang yang memimpin Seder. Pada hari khusus saat Yom Kippur tersebut, saya merenungkan tidak hanya hubungan antara Yom Kippur dan hari pernikahan seseorang, tetapi juga antara Yom Kippur dan Paskah Yahudi Passover. Banyak dari kekayaan keterkaitan teologis ini telah hilang, ketika Yudaisme dan kekristenan menjauhkan diri satu sama lain, merobek benang yang pernah terjalin menjadi ritme yang bermakna sangat mendalam dari tahun liturgikal. Akan tetapi pada tahun ini, Paskah Yahudi dan Paskah Kristen jatuh pada minggu yang sama. Ini bagaikan sebuah pengingat bagi orang Kristen tentang akar keyahudian dari keimanan kita. Yom Kippur ditetapkan dalam kitab Taurat Im. 16, 2326–32; Bil. 297-11 dan jatuh pada hari kesepuluh bulan ketujuh dalam kalender Ibrani, bulan Tishrei. Tishrei didahului oleh Elul, bulan yang berfokus pada tema pertobatan. Menurut tradisi Yahudi, periode 40 hari pertobatan dimulai di Elul dan berlanjut ke Tishrei, sesuai dengan 40 hari Musa bersyafaat bagi orang-orang Israel setelah kejatuhan mereka dalam dosa penyembahan anak lembu emas. Dalam Keluaran 32, ketika Musa menerima dua loh batu dari Tuhan di puncak Gunung Sinai, orang-orang menjadi cemas dan tidak sabar lalu membuat berhala untuk disembah. Ini merupakan suatu peristiwa yang dikenal sebagai salah satu penghinaan terbesar Israel di hadapan Tuhan. Setelah turun ke perkemahan dan melihat orang-orang menari di sekitar anak lembu emas, Musa melempar dua loh batu itu, menghancurkannya di kaki gunung. Inilah titik terendah dalam sejarah Israel, ketika kedalaman dosa dan kesalahan mereka di hadapan Allah tampaknya tidak dapat diperbaiki. Dengan kasih karunia yang sebenarnya tidak layak diterima oleh umat Tuhan, Allah memperbarui kovenan dengan umat-Nya sementara Musa membuat satu set loh batu yang baru. Semua ini menyatakan bahwa Dia adalah “TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa” Kel. 346-7. Setelah tinggal di gunung selama 40 hari 40 malam, turunlah Musa kembali ke perkemahan, dengan muka yang bercahaya. Menurut para rabi, peristiwa inilah yang menjadi hari lahirnya Yom Kippur, hari yang melambangkan puncak dosa dan kedurhakaan umat Allah dan begitu dalamnya kasih Tuhan yang tak pernah gagal serta pengampunan-Nya bagi mereka yang tidak layak. Kisah agung inilah yang dirayakan orang-orang Yahudi setiap tahun, dengan pakaian putih, yang melambangkan betapa mereka selalu membutuhkan belas kasihan dan anugerah ilahi. Kisah Paskah Yahudi Ibr. Pesach; Ingg. Passover mengisi narasi kitab Keluaran tepat sebelum tibanya umat Allah di gunung Sinai. Sebagai bagian dari penyelamatan ilahi terhadap umat Israel dari belenggu perbudakan Firaun, Tuhan mendatangkan sepuluh tulah atas orang Mesir. Sebelum tulah kesepuluh kematian anak sulung dimulai, Tuhan menyuruh Musa untuk memerintahkan setiap keluarga Israel untuk menyembelih seekor anak domba dan menggunakan darahnya untuk menandai tiang pintu dan ambang pintu rumah mereka. Roh pemusnah, yang bertugas mengambil nyawa setiap anak sulung, melihat darah di pintu masuk rumah-rumah orang Israel dan melewatkan mereka passes over, menghindarkan anak-anak sulung Israel dari kematian. Yang diperlukan bukanlah sekadar memunculkan kembali kaitan antara Paskah Yahudi Passover dan Paskah Kristen Easter. Berdasarkan petunjuk Tuhan, Musa menetapkan bahwa Israel harus merayakan hari Paskah Yahudi setiap tahun, dan sampai hari ini, orang-orang Yahudi dengan setia berkumpul untuk perjamuan makan suci pada hari ke-14 bulan pertama, bulan Nisan Kel. 12. Pada perjamuan makan itu, meja akan dihiasi dengan elemen-elemen dan makanan khusus, yang semuanya berperan untuk mengingatkan—secara harfiah, mencicipi—pengalaman malam yang penting itu dan persinggahan berikutnya sebelum melewati ganasnya gurun Sinai. Demikianlah umat Israel seterusnya mengenang kembali akan daging dan darah anak domba yang menandai—dan menyelamatkan—semua anak Abraham, Ishak, dan Yakub pada malam tergelap dalam catatan sejarah Mesir tersebut. Selama ritual Seder Paskah tahunan, orang-orang Yahudi menghidupi dan menghadapi sekali lagi kesusahan dalam perbudakan, air mata keputusasaan, dan bahkan tangisan orang Mesir. Akan tetapi orang-orang Yahudi juga memperingati kemenangan atas pembebasan dari perbudakan, kegembiraan atas awal yang baru, misteri kuasa dan kasih Tuhan, dan pengharapan bahwa suatu hari nanti mereka akan membangun rumah yang layak di Tanah Perjanjian. Seperti yang dijelaskan keempat Injil, Paskah Yahudi berfungsi sebagai latar belakang masuknya Yesus ke Yerusalem, perjamuan terakhir-Nya dengan para murid-Nya, dan kematian serta kebangkitan-Nya. Konstantinus di Konsili Nicea memutuskan untuk memisahkan Paskah Yahudi dari Paskah Kristen. Ini merupakan sebuah keputusan yang menggerakkan proses panjang penghapusan akar budaya Yahudi dari Pekan Suci. Untuk menekankan dan menemukan kembali kekayaan hubungan yang mendasar ini, yang diperlukan bukanlah sekadar memunculkan kembali kaitan antara Paskah Yahudi dan Paskah Kristen, melainkan juga perlu memasukkan Yom Kippur ke dalam pemahaman kita tentang Pekan Suci. Dalam pemikiran Rosenzweig, serta dalam tradisi Yahudi pada umumnya, sebuah tallit—selendang doa Yahudi yang ikonik—adalah simbol dari sebuah kittel. Secara tradisional, tallit juga berwarna putih, dan umumnya hanya dipakai di siang hari, terkecuali pada malam Yom Kippur, selendang ini dikenakan setelah matahari terbenam. Bahkan, sudah menjadi tradisi untuk memakainya sepanjang hari selama Yom Kippur. Banyak pria Yahudi tidak memiliki atau memakai tallit sampai setelah mereka menikah, dan sudah merupakan tradisi bagi pengantin wanita untuk memberikan tallit daripada kittel kepada pengantin pria pada hari pernikahan mereka. Tunangan saya, Yonah, memegang tradisi ini. Dan sebelum kembali ke Amerika untuk pernikahan kami, kami pergi ke mal Ramot di luar Yerusalem dan memilih tallit yang indah untuk saya berikan kepadanya sebagai bagian dari upacara pernikahan kami. “Oleh karena itu, kita seharusnya tidak memiliki kesamaan dengan orang-orang Yahudi, karena Juruselamat telah menunjukkan kepada kita cara yang lain,” demikianlah Konstantinus menegaskan di Konsili Nicea. “Dalam perayaan yang paling suci dari semua festival, sungguh sangatlah tidak pantas untuk mengikuti perhitungan orang-orang Yahudi, yang telah mengotori tangan mereka dengan kejahatan yang paling menakutkan, dan yang pikirannya telah dibutakan.” Momen dalam kehidupan gereja yang demikian dikenal sebagai kontroversi Quartodeciman, karena masalah yang dihadapi adalah perayaan Paskah orang Yahudi pada hari ke-14 quarta decima dalam bahasa Latin bulan Nisan. Kaum Quartodeciman adalah mereka yang menyukai perhitungan Paskah sesuai dengan perayaan Paskah komunitas Yahudi. Dahulu hal ini sangat dipegang teguh, karena pada dasarnya ini mengikatkan kalender Kristen ke kalender Yahudi. Namun keterikatan itu menjadi tidak dapat ditoleransi oleh gereja, karena itu gereja berusaha melepaskan diri dari Yudaisme, dan Konsili Nicea memperkuat pemisahan ini. Yang hilang dalam keputusan ini adalah hubungan intensional yang dibuat dengan sangat jelas di dalam Injil. Makna dan signifikansi Pekan Suci hanya dapat dipahami sepenuhnya jika kita melihat sejarah Israel seraya kita menjalaninya. Kematian dan kebangkitan Mesias dipersiapkan polanya setelah umat Israel keluar dari Mesir, yang menjadi momen terbentuknya orang-orang Yahudi. Pada momen penting dari pendirian gereja ini, dengan pencangkokannya ke dalam kovenan abadi Israel dengan Allah, Yesus menjadi Anak Domba Paskah yang oleh darah-Nya umat Allah diampuni. Seperti yang kita lihat di bidang-bidang lain, teologi Kristen sering kali berusaha menguraikan dengan rapi unsur-unsur yang oleh teologi Yahudi dibiarkan nyaman dalam ketegangan. Kontras ini juga disorot dalam perbedaan yang mungkin terjadi antara Paskah Yahudi dan Paskah Kristen. Bagi gereja, Jumat Agung diperuntukkan bagi kematian, sedangkan hari Minggu ditetapkan sebagai perayaan kebangkitan hidup. Pengaturan ibadah temporal ini dapat berakhir dengan kesimpulan bercabang dua antara kehidupan dan kematian, sehingga memunculkan pernyataan yang berani dan dualistik bahwa, pada hari Minggu, kematian tidak lagi menjadi kekuatan yang perlu kita perhitungkan sama sekali. Kita diberitahu untuk berpegang teguh pada kehidupan dan melupakan kuasa maut, karena Yesus meninggalkan kematian sekali untuk selamanya di dalam kubur-Nya yang kosong. Dan sengat maut pun dapat dipindahkan kepada orang-orang di luar tembok gereja. Pesan ini sangat membingungkan dan pada akhirnya, tidak manusiawi. Seperti yang telah dialami oleh sebagian besar kita, kenyataan hidup jauh berbeda dari pernyataan sederhana bahwa kematian/maut telah ditaklukkan oleh kebangkitan. Maut, dalam segala bentuknya yang berbahaya, masih menyelimuti kehidupan kita sehari-hari. Bahkan setelah kebangkitan Yesus yang mulia, kita terus bergumul dengan dimensi kemanusiaan kita yang menggelisahkan trauma yang kita hidupkan kembali, kehilangan yang kita tanggung, kekecewaan yang kita kumpulkan, kecemasan yang melumpuhkan kita. Dan sayangnya, gereja bisa salah mengirim pesan terselubung bahwa apabila kita terganggu oleh pergumulan yang nyata ini, entah bagaimana hal itu menandakan bahwa kita kurang beriman atau salah memahami inti pesan dari kekristenan. Pada sisi lain, Paskah Yahudi merangkul jalinan yang rumit antara kehidupan dan kematian; bahkan, Paskah Yahudi menggambarkan kehidupan dan kematian sebagai kekuatan yang saling terjalin dan konvergen. Sementara kehidupan pada akhirnya menang dalam narasi Israel, namun tradisi Yahudi mengingatkan kita bahwa tidak mungkin untuk memisahkan kehidupan yang kita alami dari ingatan kita akan kematian secara individu atau kolektif. Pada meja Paskah Yahudi, kami mengingat kematian seekor anak domba yang darahnya menyelamatkan hidup kami. Kami bersyukur atas karunia kemerdekaan bahkan seperti rempah-rempah yang pahit mengingatkan kami pada pahitnya perbudakan. Kami bersukacita meninggalkan Mesir walaupun kami juga ingat bahwa Tanah Perjanjian masih belum menjadi rumah kami. Dan, luar biasanya, kami bahkan mengurangi kegembiraan kami dan mengingat penderitaan orang Mesir dengan menghapus tetesan anggur, minuman yang melambangkan kegembiraan, dari gelas kami. Meski demikian, konfrontasi Yudaisme yang paling berani terhadap kematian, terjadi pada hari lain yang dinantikan dalam kisah Paskah Yahudi Yom Kippur. Pada peringatan Yom Kippur, orang-orang Yahudi berdiri di hadapan Tuhan dalam pergolakan akan kematian, mengenakan jubah kedukaan namun diberkahi dengan keberanian untuk percaya bahwa Tuhan hadir dan dapat dijangkau bahkan dari dalam kubur sekalipun. Seperti halnya Paskah Yahudi, tidak ada kehidupan yang terpisah dari kematian pada hari Yom Kippur. Bahkan kehidupan, ternyata, tidak memberi kita kemampuan untuk melupakan kematian. Keduanya berdiri bersama dalam paradoks yang mustahil, dan kita berjalan keluar dari realitas keduanya seraya kita menantikan penebusan yang final. Paskah Yahudi dan Yom Kippur mengingatkan bahwa kita tidak dapat memisahkan atau mengatur kehidupan dan kematian dengan rapi atau secara kronologis. Paskah Yahudi dan Yom Kippur mengingatkan bahwa kita tidak dapat memisahkan atau mengatur kehidupan dan kematian dengan rapi atau secara kronologis. Sayangnya, untuk saat ini, kita harus duduk di dalam ketegangan antara keduanya—dan inilah tepatnya tempat kita menemukan kepenuhan kasih Allah di dalam Kristus, Anak Domba Paskah kita yang darah-Nya menebus segala dosa kita. Ironisnya, interpretasi tersembunyi yang menerangi ibadah Kristen pada Paskah dapat menghapus konteks yang memampukan kita untuk sepenuhnya memahami makna kematian dan kebangkitan Yesus. Dengan memakai Yudaisme sebagai pembungkusnya, tradisi Kristen terlalu sering mengaburkan kesatuan dan koherensi narasi alkitabiah, di mana kovenan Allah dengan Israel merupakan konteks yang diperlukan untuk memahami karya Yesus dan terbentuknya gereja. Dari sudut ini, bukit Kalvari mulai terlihat lebih mirip dengan gunung Sinai. Tabir yang robek mengingatkan kita pada loh-loh yang pecah di gunung Sinai. Kematian Yesus mengingatkan akan pengorbanan pada hari Yom Kippur. Misteri Sabtu Suci mencerminkan syafaat Musa di atas Sinai. Dan kebangkitan Yesus mewujud-nyata menjadi sebuah kovenan yang diperbarui sekali lagi—yang merupakan sebuah pernyataan tentang keabadian kasih Allah yang tak berkesudahan, pertama kepada orang Yahudi dan kemudian kepada orang bukan Yahudi Rm. 116. Dengan pendekatan dari perspektif ini, maka pernyataan yang penuh sukacita bahwa “Kristus telah bangkit!” memberikan makna baru yang sangat mendalam bagi kita. Bagaimanapun juga, Juruselamat dunia adalah Mesias Israel yang telah lama ditunggu-tunggu. Esai ini diadaptasi dari Finding Messiah karya Jennifer M. Rosner. Hak Cipta © 2022 oleh Jennifer Rosner. Diterbitkan oleh InterVarsity Press, Downers Grove, IL. Michael Stone juga berkontribusi pada esai ini. Diterjemahkan oleh David Alexander Aden -[ This article is also available in English, español, and PortuguĂȘs. See all of our Indonesian Bahasa Indonesia coverage. ] Seorang ibu sangat berduka karena kematian anak lelaki satu – satunya. Ia menangis sepanjang waktu meratapi nasibnya. Ia pergi kepada orang tua yang bijak di kampungnya dan berkata ”aku tidak akan pernah bahagia kecuali anakku hidup kembali”. Orang tua bijak itu menasihati si ibu ”pergilah lalu ambillah satu jeruk dari sebuah rumah yang tidak pernah mengalami kekusahan/kedukaan”. Ibu itupun pergi, ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Memasuki rumah demi rumah. Bahkan ia pergi ke tempat yang jauh dari kampungnya. Ia memasuki setiap rumah dan mendapati bahwa setiap rumah punya kesusahannya sendiri bahkan ada yang mengalami dukacita lebih hebat daripadanya. Akhirnya ibu itu memutuskan untuk kembali kepada sang orang tua bijak. Ajaibnya ia tidak lagi bersedih seperti sebelumnya. Ia memang sangat kehilangan tapi dari perjalanannya itu ia menyadari bahwa tidak seorangpun kebal terhadap kematian dan dukacita. Sama seperti angin taufan yang hebat mengguncang perahu para murid di Danau Galilea, demikian juga kesulitan hidup, dukacita, kegagalan dapat mengguncang hidup kita. Meski demikian pembacaan kita ini menyampaikan 3 hal yang menjadi ungkapan syukur dan sukacita bagi kita Pertama, segala sesuatu terjadi ada dalam rencana Allah. Pada ayat 22, Yesus sendiri yang memilih rute perjalanan untuk berlayar melalui Danau. Rute yang dipilih Yesus, jalan – jalan yang ditunjukann Tuhan bisa saja penuh bahaya dan resiko tetapi dalam bahaya itu Yesus menyatakan kuasaNya dan mengajar para murid agar bertumbuh dalam hal percaya. Itulah sebabnya hari ini kita bersyukur sebab kita mengimani bahwa jalan – jalan Tuhan meskipun terkadang sukar namun penuh damai. Rencana Tuhan meskipun sulit dimengerti namun selalu indah. Kedua, kehadiran Yesus menjamin kelangsungan dan keselamatan hidup para murid. Pada ayat 23 dikatakan bahwa Yesus tertidur ketika taufan menghantam perahu mereka. Para murid yang ketakutan membangunkan Yesus. Para murid merasa mereka pasti binasa. Badai itu membuat iman dan harapan para murid lenyap seketika padahal mereka selalu bersama Yesus dan menyaksikan sendiri bagaimana Yesus menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati. Seringkali badai hidup membuat kita kecewa, mengguncang iman kita. Kita bertanya – tanya kepada Tuhan “mengapa ini terjadi?”. Kita mengira Tuhan tertidur. Sesungguhnya tidak demikian saudaraku. Sikap Yesus yang tertidur dalam perahu adalah cara Tuhan agar para murid belajar mempercayakan diri secara total kepada Tuhan. Dan kita tahu akhir dari kisah yang tidak asing bagi kita. Yesus menghalau badai itu. Saudaraku, Yesus yang sama juga hadir di tengah kehidupan kita dan di tengah kehidupan Keluarga terkasih kita yang bersyukur meskipun berduka. Yesus tetap menyertai selama 40 hari dukacita keluarga bahkan sepanjang kehidupan keluarga dan kita semua. Adakalanya kita merasa Yesus tertidur, tapi percayalah, justru dalam masa – masa itu, Ia mau kita bertumbuh dalam iman dan harap kepadaNya. Ketiga, krisis kehidupan merupakan kesempatan mengenal Yesus dan kasihNya. Setelah badai itu berlalu, Yesus bertanya kepada para murid “Di manakah kepercayaanmu?” Pertanyaan ini bukan sekedar teguran karena pertanyaan ini mengandung pengajaran supaya para murid mengenal Yesus dengan sungguh – sungguh. Mengenal Yesus yang memiliki kuasa menghalau badai sebesar apapun. Hari ini, sesudah 40 hari, kita tetap bersyukur bersama keluarga sebab di dalam krisis dan dukacita keluarga, pertolongan Tuhan semakin besar. KasihNya tetap memelihara keluarga. Bersyukurlah senantiasa kepada Tuhan. Lanjutkanlah perjalanan hidup bersama Tuhan. Perjalanan ini memang tidak mudah, penuh resiko dan bahaya. Ujian bisa datang silih berganti. Hidup ibadat kapal yang terombang – ambing di tengah badai dan membuat kita tidak berdaya. Tapi kita tidak sendirian. Ia hadir bagi kita. Ia Allah yang peduli dan mengerti. Dalam Dia, dukacita kita menjadi ungkapan syukur. Amin. Tuhan memberkati.

khotbah 40 hari setelah kematian